pendakian trakhkir
Pendakian Terakhir di Gunung Sagara
Malam itu, langit tampak gelap tanpa bintang ketika Rian dan tiga temannya—Dika, Anton, dan Bayu—memulai pendakian mereka di Gunung Sagara. Gunung ini terkenal dengan keindahannya, tetapi juga menyimpan banyak kisah mistis. Konon, ada jalur yang tidak boleh dilalui pendaki karena sering terjadi kejadian aneh.
“Ah, itu cuma mitos,” kata Dika dengan santai sambil mengikat sepatunya. “Yang penting kita sampai puncak dan foto-foto.”
Setelah mendaki selama beberapa jam, mereka sampai di sebuah persimpangan. Ada jalur resmi yang tampak lebih panjang, dan satu jalur sempit yang lebih pendek tapi sudah ditutup dengan tanda larangan.
“Kalau lewat sini lebih cepat,” kata Anton sambil menunjuk jalur terlarang.
Bayu, yang sejak awal merasa tak enak, menggeleng. “Kata warga, banyak yang tersesat di sana.”
Namun, Dika dan Anton tetap bersikeras. Akhirnya, mereka memutuskan melewati jalur itu.
Semakin jauh mereka berjalan, suasana semakin aneh. Udara terasa lebih dingin, suara hutan yang biasanya ramai mendadak senyap. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar. Tiba-tiba, Rian merasa seperti ada yang mengikuti mereka dari belakang.
“Sstt… kalian dengar suara itu?” bisik Rian.
Mereka berhenti. Sunyi. Tapi saat mereka mulai berjalan lagi, terdengar suara langkah kaki tambahan. Tap… tap… tap…
Mereka saling pandang. “Jangan bercanda, deh,” kata Anton dengan suara bergetar.
Tiba-tiba, Bayu menjerit. “Astaga! Itu apa?!”
Semua menoleh ke arah yang ditunjuk Bayu. Di antara pepohonan, tampak bayangan tinggi dengan mata merah menyala. Wujudnya samar, tetapi terasa mengawasi mereka.
Tanpa pikir panjang, mereka berlari sekencang mungkin. Anehnya, meskipun sudah berlari jauh, jalur yang mereka lalui terasa berputar-putar. Mereka seperti kembali ke tempat yang sama.
“Ini nggak masuk akal! Kita tersesat!” teriak Rian.
Mereka mulai panik. Anton mencoba membuka peta di ponselnya, tapi anehnya, tidak ada sinyal sama sekali.
Saat itulah terdengar suara tawa pelan, menyeramkan, bergema di sekitar mereka. Jantung mereka berdegup kencang. Bayangan hitam itu semakin dekat.
Dalam kepanikan, Bayu teringat sesuatu. Ia buru-buru merogoh ranselnya dan mengeluarkan pisang serta beberapa makanan kecil. Ia meletakkannya di tanah dan berbisik, “Kami cuma numpang lewat. Maaf kalau mengganggu.”
Suara tawa itu perlahan menghilang. Kabut tipis yang menyelimuti mereka perlahan menipis. Jalan setapak yang sebelumnya tidak terlihat kini muncul di depan mereka. Tanpa berpikir panjang, mereka mengikuti jalur itu sampai akhirnya mereka menemukan jalur pendakian yang benar.
Saat mereka tiba di pos peristirahatan, seorang pendaki tua menatap mereka tajam. “Kalian tadi lewat jalur mana?” tanyanya.
Dengan napas tersengal, Rian menjawab, “Jalur pendek yang tertutup itu.”
Pendaki tua itu menghela napas panjang. “Kalian beruntung masih bisa keluar. Jalur itu dikenal sebagai Jalan Buntu, karena banyak yang masuk, tapi tak pernah keluar.”
Mereka saling pandang dengan wajah pucat. Itu adalah pendakian terakhir mereka di Gunung Sagara.
Pesan moral: Jangan pernah meremehkan larangan dan mitos di tempat asing. Alam memiliki misterinya sendiri, dan kita sebagai manusia harus tetap menghormatinya.
Semoga cerpen ini membuatmu merinding!

Komentar
Posting Komentar