Ayahku Pahlawanku



 Ayahku, Pahlawanku

Matahari baru saja muncul di ufuk timur ketika Ayah sudah bersiap-siap dengan seragam kerjanya yang sederhana. Aku, Raka, hanya bisa memandang punggungnya yang mulai membungkuk karena kelelahan. Ayah bekerja sebagai tukang becak di kota, mengayuh sepanjang hari untuk menghidupi kami.

“Ayah berangkat dulu, Nak. Jangan lupa belajar,” katanya lembut sambil mengusap kepalaku.

Aku mengangguk pelan. Aku tahu betapa kerasnya perjuangan Ayah. Setiap hari ia mengayuh becak, menerjang hujan dan terik matahari. Terkadang, pulang dengan sedikit uang, tetapi tak pernah mengeluh.

Suatu hari, sekolah mengadakan acara pertemuan orang tua. Aku sangat ingin Ayah datang, tapi aku ragu. Apakah Ayah mau datang dengan baju kerjanya yang lusuh? Apakah teman-temanku akan menertawakan Ayah?

Namun, di hari acara itu, aku terkejut melihat Ayah berdiri di depan kelas dengan senyum lembutnya. Baju kerjanya tetap sederhana, tapi ia tampak bangga berdiri di sana. Beberapa teman menatapnya aneh, tetapi Ayah tidak peduli.

Ketika giliran Ayah berbicara, suaranya tegas, “Saya memang hanya seorang tukang becak, tapi saya bekerja keras agar anak saya bisa sekolah dan meraih masa depan yang lebih baik.”

Aku menahan air mata. Saat itu, aku sadar, Ayah bukan sekadar seorang tukang becak. Ia adalah pahlawan sejati dalam hidupku.

Sepulangnya dari sekolah, aku memeluknya erat dan berkata, “Ayah, aku bangga padamu.”

Ayah tersenyum dan membalas pelukanku. Aku berjanji dalam hati, suatu hari nanti, aku akan membalas semua perjuangannya.

Karena bagiku, Ayah adalah pahlawan sejati yang tidak butuh jubah atau medali, hanya hati yang besar dan cinta yang tak terbatas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kabur Aja Dulu

bintang di langit malam

Asal Usul Kota Tasikmalaya